Sejarah Nasional

GERAKAN 30 SEPTEMBER
G30S/PKI

Pada pertengahan 1960-an, kondisi negara serba tidak pasti disebabkan makin kuatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam pemerintahan dan adanya kekuatan yang tidak setuju dengan paham komunisme. Pihak militer menjadi salah satu suara yang vokal dalam menentang komunisme, terutama Angkatan Darat; apalagi ketika PKI mengusulkan dibentuknya “Angkatan Kelima”, yaitu petani dan kaum buruh yang dipersenjatai. Alasannya adalah karena banyaknya konflik yang harus ditangani tentara sehingga akan butuh sukarelawan/sukarelawati untuk membela negara. Gagasan PKI ini amat mirip dengan revolusi-revolusi besar yang terjadi di negara komunis seperti Tiongkok dan Rusia, oleh karena itu Angkatan Darat menolak keras.

Ilustrasi konteks politik Indonesia pertengahan 1960-an
Konteks politik & sosial Indonesia pertengahan 1960-an.

Kekisruhan dalam pemerintahan dan militer ini juga makin diperparah dengan kondisi ekonomi Indonesia yang terpuruk dengan inflasi mencapai 650% sehingga banyak rakyat yang kelaparan. Selain itu PKI juga mengangkat isu mengenai adanya Dewan Jenderal, yaitu para jenderal Angkatan Darat yang dituduh hendak melakukan kudeta untuk menggulingkan Presiden Sukarno pada 5 Oktober 1965. Menanggapi hal ini, Presiden Sukarno memerintahkan Resimen Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden) untuk menjemput para jenderal yang diduga terlibat untuk ditanyai oleh presiden. Apa yang kemudian terjadi yang kita kenal sekarang sebagai Gerakan 30 September para jenderal bukan hanya dijemput, bahkan ditembak mati.

Jenderal A.H.Nasution yang menjadi sasaran utama berhasil lolos, tetapi anak bungsu dan pengawalnya, Ade Irma Suryani dan Lettu CZI Pierre A. Tendean, tewas tertembak. Kolonel Katamso Darmokusumo dan Letkol Sugiyono Mangunwiyoto dari Korem 072/Pamungkas di Yogyakarta juga ditangkap dan dieksekusi PKI. Seorang polisi, Bripka Karel Sadsuitubun, yang menjadi pengawal di kediaman resmi wakil perdana menteri yang bertetangga dengan rumah A.H. Nasution juga tertembak. Enam orang jenderal Angkatan Darat—Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Raden Suprapto, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan, dan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo ditembak mati dan jenazahnya dibuang ke dalam sumur di Lubang Buaya.

Ilustrasi konteks politik Indonesia pertengahan 1960-an
Konteks politik & sosial Indonesia pertengahan 1960-an.

Keterlibatan RPKAD dalam Menumpas G30S/PKI

Penculikan dan pembunuhan para pimpinan Angkatan Darat terjadi pada dini hari menjelang 1 Oktober 1965 namun dalam hitungan cukup cepat situasi dapat dipulihkan kembali. Beberapa pasukan AD–RPKAD, Kostrad, dan Kujang diturunkan untuk menyelesaikannya. RPKAD mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyelesaikan G30S/PKI, bahkan dapat dikatakan cukup menentukan dengan mengambil sikap tegas dalam menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap situasi sosial politik dan psikologis di Indonesia yang pada saat itu sangat kritis. Dini hari, 1 Oktober 1965, Kolonel Sarwo Edhie Prabowo mendapat kabar tentang penculikan para jenderal dan langsung menghubungi Mayor C.I. Santosa untuk menyiapkan pasukannya yang pada saat itu sebagian sedang berada di Senayan untuk berlatih dalam rangka persiapan HUT XX ABRI. Walaupun membawa senjata, pasukan RPKAD yang ada senayan tidak membawa sebutir pun peluru. Sedikit ada keributan ketika tiba-tiba pasukan RPKAD meninggalkan barisan, namun perintah tugas harus dilaksanakan. Mereka pun berangkat dan di tengah jalan bertemu pasukan yang membawa peluru.

Dalam operasi itu, RPKAD memberangkatkan satu batalion ditambah lima kompi tempur langsung di bawah pimpinan Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Pasukan RPKAD kebanyakan berasal dari Batalyon I yang dipimpin oleh Mayor C.I. Santosa dengan komposisi:

  1. Satu Kompi dipimpin oleh Kapten Urip Sucipto
  2. Satu Kompi dipimpin oleh Lettu Kayat
  3. Satu Kompi dipimpin oleh Kapten Heru Sisnodo
  4. Satu Kompi dipimpin oleh Lettu Faizal Tanjung
  5. Satu Kompi lagi dari Separakoad
Ilustrasi konteks politik Indonesia pertengahan 1960-an
Konteks politik & sosial Indonesia pertengahan 1960-an.

Selain ikut berpartisipasi dalam HUT XX ABRI, saat itu sejumlah pasukan pun sedang menunggu keberangkatan sebagai Kompi Sukarelawan Pembebasan Kalimantan Utara mengingat peristiwa G30S/PKI waktunya bersamaan dengan Operasi Dwikora. Pada hari itu, 1 Oktober 1965, seluruh kompi berangkat menuju Kostrad untuk mendapatkan penugasan dari Pangkostrad, Mayjen TNI Soeharto.

Tugas yang paling utama harus dilakukan adalah menguasai objek komunikasi vital yang sudah dikuasai PKI. Kompi RPKAD pimpinan Kapten Heru Sisnodo pada pukul 19.10 berhasil menguasai RRI. Pukul 19.30 Kantor Pusat Telekomunikasi berhasil direbut Kompi Benhur di bawah Kapten Urip Sucipto. Dengan menguasai dua objek komunikasi vital ini, pada pukul 21.30 RRI Pusat dapat menyiarkan pidato Mayjen TNI Soeharto yang isinya penjelasan situasi kepada seluruh rakyat Indonesia.

Pada pukul 01.00 tanggal 2 Oktober 1965, pasukan yang terdiri dari pasukan Kostrad, Yon 328/Kujang, Kodam-VI/Siliwangi, dan lima kompi RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo bergerak menuju Lanud Halim Perdanakusuma yang disinyalir sudah dikuasai PKI. Singkat saja, Lanud Halim Perdanakusuma dapat dikuasai karena D.N. Aidit sudah melarikan diri menuju Madiun. Seorang anggota RPKAD gugur dalam pelaksanaan tugas ini. Sementara itu berdasarkan informasi dari seorang prajurit yang berhasil melarikan diri dari penculikan pada 3 Oktober 1965 pukul 09.00 Pangkostrad memberi perintah kepada Komandan RPKAD melalui telepon agar mengerahkan pasukannya mencari sumur tua di Lubang Buaya. Pasukan kemudian bergerak menuju Kampung Lubang Buaya. Tugas pencarian sumur tua itu dilakukan oleh Kompi A Benhur pimpinan Kapten Urip Sucipto, serta satu kompi lainnya pimpinan Lettu Faisal Tanjung. Lebih kurang pukul 16.00 hari itu juga, sumur tua berhasil ditemukan. Saat itu hari sudah petang dan atas perintah Pangkostrad, maka penggalian jenazah dihentikan untuk dilanjutkan keesokan harinya pada 4 Oktober 1965 yang disaksikan sendiri oleh Pangkostrad.

Setelah pusat kekuatannya dihancurkan, operasi dilanjutkan dengan pengejaran terhadap sisa-sisa pemberontak G30S/PKI, mulai dari daerah Karawang. Hasilnya sebagian besar pemberontak menyerah dan hanya sebagian kecil saja yang dapat melarikan diri ke Jawa Tengah. Operasi terhadap G30S/PKI di Jawa Tengah juga sudah dimulai sejak 2 Oktober 1965, dilaksanakan oleh Yon RPKAD bersama-sama dengan Yon Kav dan Kodam VII/Diponegoro. Gerakan tersebut berhasil menguasai kembali Markas Kodam VII/Diponegoro dan Studio RRI Semarang. Pada waktu itu juga diketahui bahwa ada sisa-sisa G30S/ PKI yang merencanakan serangan ke Boyolali. Dua Regu Yon 3 RPKAD segera dikirim untuk mengatasinya. Kota Boyolali dapat diamankan dan serangan balasan pemberontak G30S/PKI dapat digagalkan. Satu Kompi Yon 3 RPKAD juga ditugaskan untuk menghadang pelarian G30S/PKI dari Jawa Barat dan berhasil menawan dua kompi pemberontak, sedangkan sebagian kecil meloloskan diri ke daerah Salem.

Selanjutnya operasi di Jawa Tengah langsung dipimpin oleh Dan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo yang bergerak sejak pertengahan Oktober 1965 ke Semarang, Solo, Wonogiri, Klaten, dan lain-lain. Kedatangan pasukan RPKAD berhasil memberikan semangat kepada rakyat setempat untuk membantu menumpas pemberontakan G30S/PKI di daerahnya, dari yang semula masih ragu-ragu dan takut untuk memberikan perlawanan. Dalam operasi ini pasukan RPKAD berhasil menangkap tokoh-tokoh pemberontak, antara lain eks Kolonel Suherman, eks Mayor Sukirno, dan eks Mayor Mulyono, sedangkan D.N. Aidit tertembak mati oleh pasukan lain.

Satu kompi RPKAD pimpinan Kapten Urip Sucipto juga dikirim ke Bali untuk menumpas pemberontak G30S/PKI di sana. Selain membersihkan sisa-sisa G30S/PKI, dari 10–18 Maret 1966 dimulai operasi untuk mengamankan tokoh-tokoh dan pejabat negara yang terlibat, baik menteri maupun pegawai negeri lainnya yang ada di Jakarta. Untuk melaksanakan tugas ini dikerahkan satu Brigade RPKAD, satu Brigade Para, dan satu Brigade Kavaleri. Operasi ini dilakukan juga di Bandung, RPKAD dari Separakoad didatangkan ke Bandung untuk menumpas sekaligus mengadakan pembersihan di daerah-daerah sekitarnya. Selain itu, konsolidasi sisa-sisa PKI di Jawa Timur dapat dipatahkan. RPKAD juga dikerahkan sebagai cadangan untuk pengamanan jalannya sidang MPRS keempat pada 18–25 Maret 1966. Tugas dapat dilaksanakan dengan baik dan Sidang MPRS dapat berjalan lancar dan aman.

Disusun ulang dalam format kuratorial. Terakhir diperbarui: September 2025.